“TINGGALAH BERSAMA-SAMA DENGAN KAMI”

Sebuah Refleksi atas Kehidupan Formasi di Masa Pandemi Covid-19


Tahun 2020 merupakan tahun yang tidak mudah bagi banyak orang di dunia ini. Siapa yang menyangka bahwa di tahun 2020 ini kita hanya dua bulan hidup dalam suasana normal? Sisanya, kita hidup di bawah status hati-hati akibat pandemi Covid-19 yang telah merebak di seantero nusantara. Hingga kini, sudah 8 bulan kita hidup dalam situasi yang memprihatinkan ini. Hidup di dalam situasi yang memprihatinkan membuat kita tidak nyaman dan perlu banyak beradaptasi dengan berbagai kebiasaan baru. Kita diajak untuk bisa menerima kenyataan bahwa realitas virtual itu benar-benar terjadi. Hal ini dapat kita lihat dari sebagain besar aktivitas saat ini. Hampir semua kegiatan, seperti sekolah, kuliah, rapat, bahkan ibadat pun diubah tajuknya, yakni online. Meski pandemi Covid-19 ini adalah krisis global, namun pandemi menyingkap suatu makna penting, yakni kita menemukan diri kita terhubung secara berbeda, berbagi dalam pengalaman kejadian yang sama dengan tidak mengecualikan siapapaun. Pandemi Covid-19 juga memberi tanda bahwa kita ini rentan dan sama-sama mudah terpapar.

Pandemi Covid-19 sebagai wabah dunia, membuat kita takut dengan berbagi kemungkinan terjadi. Kita takut dengan kematian, kita takut dengan orang-orang yang kita jumpai, bahkan kita takut dengan benda-benda umum di sekitar kita. Sesering mungkin kita mencuci tangan, menjaga jarak fisik, bahkan mengurangi kontak langsung, serta mengenakan masker setiap kali beraktivitas di luar rumah. Ketakutan-ketakutan yang demikian sering membuat kita hidup di bawah apriori yang berlebihan. Selain itu, ketakutan-ketakutan itu membuat kita hidup dalam keterbatasan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan segala bentuk pembatasan untuk mencegah penularan virus ini. Pembatasan itu dimulai dari physical distancing antar pribadi, larangan berkumpul dalam jumlah banyak, bahkan hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keterbatasan telah memunculkan pemandangan baru yang sangat asing. Kita tidak lagi melihat setiap pagi anak mengenakan seragam sekolah berangkat menuntut ilmu, kita tidak lagi merayakan Ekaristi bersama-sama di Gereja pada Hari Minggu, kita tidak lagi melihat festival musik dengan mosing-nya yang begitu semarak dan menghibur. Kita telah hidup dalam keterikatan dengan berbagai keterbatasan dan ketetapan. Keterbatasan dan ketetapan ini terus berkelanjutan hingga membuat kita menjadi terasing. Akan tetapi, keterasingan ini telah menumbuhkan pola pikir yang baru dalam hidup kita. Kita diajak untuk menciptakan pola pikir yang relasional, yang tidak hanya berpusat pada diri sendiri, sehingga kita tetap terhubung satu sama lain meski jarak dan waktu memisahkan.

Pola pikir pertama dalah Tenang dan Tidak Takut. Akan hal ini, Yesus bersabda kepada kita “Tenanglah, ini Aku, jangan takut” (Matius 28:5). Mengapa kita perlu menghadapi pandemi ini dengan tenang dan tidak takut? Sebab, ketika kita menghadapi pandemi dengan ketakutan, kita akan terus hidup di bawah bayang-bayang gelap dan suram. Lama kelamaan orang lain pun menjadi takut dan tidak mampu menghadapinya. Melalui perikop ini, marilah kita menghadirkan kembali peristiwa ribuan tahun silam saat para murid-Nya begitu takut akibat angin taufan yang melanda saat Ia dan para murid-Nya berlayar bersama dalam sebuah perahu. Yesus menegur para murid untuk tetap tenang sebab Dia, Sang Guru Sejati ada di sampingya dan akan memberi pertolongan yang besar. Paus Fransiskus dalam Dokumen Urbi et Orbi, menangguhkan perikop injil ini melalui rumusan “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu begitu tidak percaya?” Di tengah-tengah badai, Tuhan mengundang kita untuk membangun kembali dan mempraktikkan solidaritas dan harapan yang mampu memberi kekuatan, dukungan, dan makna pada waktu-waktu ini ketika segala sesuatu tampak sulit. Pola pikir pertama ini mendorong kita untuk bisa mengendapkan segala pengalaman yang kita alami, dan perlahan-lahan berani melepaskan energi-energi positif yang lebih besar daripada kehilangan. Kita diajak untu mampu menguatkan hati, serta percaya bahwa Tuhan Allah akan datang dan memberikan keselamatan pada kita (bdk. Yesaya 35:4).

Pola pikir kedua adalah pola pikir solidaritas antar sesama. Kita diajak untuk saling peduli, respect, dan mengerti satu sama lain. Dalam konteks ini, kita diajak untuk menjadi sahabat bagi semua orang (bdk.Yohanes 15: 14-15). Menjadi sahabat bagi semua orang adalah menaati dan menemukan kembali hidup yang menanti kita. Kita diajak untuk menguatkan, mengenali, dan menumbuhkan rahmat yang hidup di dalam diri kita di tengah keterisolasian ini. Sebab, benarlah kutipan Nabi Yesaya tentang Hamba Tuhan ini “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu api yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, tetapi dengan setia Ia akan menyatakan hukum” (Yes 42:3). Sebagai pribadi yang mengimani Yesus Kristus, kita diajak untuk memahami arti keselamatan yang sesungguhnya. Keselamatan yang sesungguhnya adalah dengan membangun dan mengembangkan solidaritas antar sesama. Solidaritas menjadi sahabat bagi banyak orang dengan berani memeluk kebosanan dan penderitaan yang juga dirasakan oleh sebagian besar orang. Solidaritas itu antara lain berani untuk tetap tinggal di rumah, juga setia mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Melalui solidaritas sebagai sahabat bagi semua orang, kita dipanggil kepada suatu sikap pengharapan dengan terus berkarya. Sikap pengharapan itu dimaksudkan supaya karya kita dapat menyatukan dan menyejahterakan semua masyarakat, sehingga mereka bisa menikmati kehidupan yang baik.

Pola pikir ketiga adalah Tinggal bersama-sama dalam Kristus (Lukas 24:29). Marilah kita mengenang kembali peristiwa dua murid yang mengenal Yesus lewat penampakan dirinya dalam perjalanan ke Emaus. Saat itu, mereka mendesak Yesus untuk tinggal bersama dengannya karena hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam. Kemudian Yesus masuk, tinggal bersama, dan mengadakan perjamuan Ekaristi dengan para murid. Para murid pun menjadi percaya dan lebih mengenal Yesus. Lewat pola pikir ketiga ini, kita diajak untuk menyadari bahwa kita diciptakan oleh Tuhan dan kita masih diperkenankan untuk menjalani hidup di masa-masa yang tidak mudah seperti ini. Sebagai Pribadi Kristiani yang mengasihi Yesus, layaklah kita untuk berani mengandalkan dan mengharapakan agar Yesus tinggal di dalam hidup kita. Mengandalkan Yesus dalam hidup kita berarti mengusahakan keterbukaan pikiran dan logika. Kita diajak untuk bisa menerima situasi dan kondisi tanpa menyalahkan. Penerimaan itu sebagai wujud permohonan agar Yesus sendiri tinggal bersama dengan kita dan merajai hati kita, sebab hanya di dalam Dia-lah segala perkara dapat kita tanggung (bdk. Filipi 4:13). Permohonan itu juga memampukan kita untuk memahami bahwa situasi sulit yang sedang kita alami adalah anugerah untuk memahami Karya Tuhan sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Dengan demikian, terpantiklah semangat dalam diri kita untuk berbagi berkat terhadap sesama, sehingga kita dan sahabat-sahabat kita, semakin dikuatkan di dalam ketidak pastian ini.

Salam dari Bumi Merto,


Johanes Maximillien Adhi, 

Seminaris tingkat 4 (tingkat akhir)


Sumber :

   . Alkitab edisi Study, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), 2001.

Akademi Kepausan untuk Kehidupan. Humana Communitas: Di Masa Pandemi: Refleksi-refleksi yang Tidak Tepat Waktunya tentang Kelahiran Kembali. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2020.

Paus Fransiskus. Urbi et Orbi: Mengapa Kamu Begitu Takut dan Tidak Percaya?”. Roma, April 2020, diakses dari https://www.dokpenkwi.org/2020/03/28/paus-fransiskus-pada-berkat-urbi-et-orbi-mengapa-kamu-begitu-takut-mengapa-kamu-tidak-percaya/- diakses pada Rabu, 25 November 2020 pukul 19.44 WIB.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGAIMANA SIKAP YANG BAIK KETIKA AKAN MENGIKUTI EKARISTI???